Rabu, 31 Desember 2014

masalah sosial dari film Laskar Pelangi

Tugas ISD mencari masalah sosial yang berada dalam film.

Judul Film : Laskar Pelangi

Cerita dimulai di sebuah SD Muhammadiyah di pulau Belitong, sebuah sekolah dengan keadaan yang serba kekurangan. Sekolah yang hanya memiliki enam ruang kelas kecil-kecil dengan atap bocor, berdinding papan, berlantai tanah, dan jika malam dipakai untuk menyimpan ternak, itupun dipakai bergantian (pagi untuk SD dan sore untuk SMP) dan tidak memiliki fasilitas lain sama sekali. Dari keadaan yang demikian tidak ada orang tua kaya yang mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah itu. Hanya orang tua miskin yang mau menyekolahkan anaknya disana karena sekolah ini memang tidak memungut iuran sedikitpun. Hingga Depdikbud Sumsel memperingatkan hendak menutup sekolah itu jika siswa yang mendaftar tidak mencapai sepuluh orang.
Sampai waktu yang ditentukan baru sembilan orangtua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah itu. Pak Harfan yang bernama lengkap Ki Agus Harfan Efendy Noor, selaku kepala sekolah sudah bersiap untuk memberikan pidato penutupan sekolah sesuai instruksi dari Pengawas Sekolah Depdikbud Sumsel.

Namun, disaat-saat terakhir itu datang Harun yang memiliki keterbelakangan mental. Dia disekolahkan di sekolah itu karena orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya ke SLB disebabkan oleh alasan biaya, hanya ada tiga alasan kenapa orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah itu, karena sekolah ini gratis, butuh pelajaran agama dan tidak diterima di sekolah manapun. Sekolah itu tidak jadi ditutup. Genaplah sepuluh orang siswa baru di sekolah kampung itu: Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani dan Harun.
Bu Mus yang bernama lengkap Nyi Ayu Muslimah Hafsari adalah satu-satunya guru yang mengampu semua mata pelajaran di SD Muhammadiyah, mulai dari pelajaran umum hingga keagamaan. Meski hanya digaji 15 kilogram beras setiap bulannya Bu Mus tetap menjalankan profesi terpuji ini dengan penuh keikhlasan demi melanjutkan cita-cita ayahnya untuk melakukan syiar Islam. Bersama Pak Harfan Bu Mus berjuang mati-matian untuk tetap menjaga kelangsungan keberadaan sekolah ini. Untuk mencukupi kebutuhan pribadi, Bu Mus menerima jahitan baju sedangkan Pak Harfan mengolah sebidang kebun untuk menghidupi keluarganya.

“Laskar Pelangi” nama yang diberikan Bu Mus untuk kesepuluh siswanya ini, melalui hari-hari yang harus dijalani dengan penuh perjuangan. Banyak kisah-kisah yang sangat menyentuh dan penuh inspirasi yang dialami oleh anggota Laskar Pelangi. Lintang, seorang anak pesisir miskin harus mengayuh sepedanya sejauh 80 kilometer pulang pergi untuk merasakan nikmatnya pendidikan. Tak jarang saat melintasi rawa yang merupakan rute perjalanannya dia dihadang buaya yang sedang berjemur, namun ia tidak pernah membolos hanya karena alasan buaya. Anak pesisir ini diceritakan sebagai anak yang terlahir dengan kejeniusan tinggi, siswa SD Muhammadiyah yang mampu mengharumkan nama sekolahnya dalam lomba cerdas cermat di kota kecamatan, dia melahap semua pertanyaan matematika tanpa menggunakan alat bantu, soal baru selesai dibacakan dengan seketika jawaban meluncur dari mulut Lintang. Dalam perlombaan itu Lintang dituduh curang oleh guru dari Sekolah PN Timah, sekolah elit yang ada di Belitong, dimana siswa yang bersekolah disini adalah anak dari pegawai tinggi Perusahaan Negara (PN) Timah. Perusahaan yang menguras kekayaan negri Belitung menggunakan kapal keruk yang bekerja siang malam tanpa henti dan menghasilkan kekayaan yang melimpah bagi negara, namun orang-orang melayu Belitong masih saja terkungkung oleh jerat kemiskinan yang tidak berkesudahan. Drs. Zulfikar, guru yang berijazah dan terkenal, namun saat ditantang untuk menghitung kembali pertanyaan, sang guru sekolah kaya itu dapat dikalahkan. Hingga akhirnya sekolah miskin SD Muhammadiyah mampu menjadi jawara.

Mahar sang seniman jenius yang mampu mengharumkan nama SD Muhammadiyah untuk pertama kali dalam Karnaval 17 Agustus. Mahar menciptakan suatu koreografi indah tak tertandingi dan suatu mahakarya seni tinggi, walaupun untuk menciptakan karya seni tersebut Mahar mengorbankan anggota Laskar Pelangi lain yang berperan sebagai penari dengan membuat kalung dari buah aren yang gatalnya minta ampun. Melalui tangan dinginnya sekolah mereka yang hampir roboh itu mampu membawa pulang trofi jawara karnaval yang dua puluh sebelumnya selalu dipegang oleh sekolah PN Timah.

Disini juga dikisahkan tentang cinta pertama Ikal (penulis) kepada gadis Hokian yang masih sepupu A Kiong teman sekelasnya. Cinta yang bersemi di toko kelontong “Sinar Harapan” langganan SD Muhammadiyah membeli kapur tulis secara kredit. Akhirnya A Ling harus pergi ke Jakarta untuk menemai bibinya dan cinta Ikal kepada A Ling harus berakhir karena jarak.
Banyak hal yang dilalui Laskar Pelangi, mereka tertawa, menangis, menimba ilmu dan menciptakan hal-hal aneh bersama-sama. Apalagi ketika Flo datang, seorang gadis tomboi anak pimpinan PN Timah yang justru ingin bersekolah di SD Muhammadiyah setelah mengenal Mahar sang seniman ulung yang juga sering pula memburu keberadaan hantu. Flo merasa cocok berteman dengan Mahar karena sama-sama menyukai hal mistik. Mereka berdua bahkan membentuk klub mistik.
Hingga pada akhirnya Lintang si jenius dari pesisir harus meninggalkan bangku sekolah, teman-teman dan nikmatnya mendapat transfer ilmu dari Bu Mus karena alasan klasik dunia pendidikan di Indonesia, masalah ekonomi, dimana saat ayahanya meninggal dunia dan dia sebagai anak laki-laki tertua harus menghidupi semua kebutuhan adik-adiknya. Saat itulah kelas kehilangan sumur pengetahuan yang tak pernah kering akan ilmu.

Akan tetapi perjuangan terus berlanjut, semua tetap berjuang menjadi apa yang telah mereka cita-citakan. Walau pada awalnya mereka tidak berani untuk sekedar bercita-cita. Dengan didikan kemuhammadiyahan mereka mempunyai sikap mental yang pantang menyerah.

Di akhir certita Ikal, tokoh ‘aku’ dalam cerita ini mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke Perancis di Sorbone University, suatu pencapaian yang luar biasa dari anak Belitong yang termarginalkan oleh keadaaan. Meskipun tak seberuntung Ikal, Lintang mampu mewujudkan keinginan ayahnya untuk tidak menjadi nelayan seperti sang ayah. Dia menjadi supir truk, namun tetap dengan cakrawala pengetahuan yang masih tak tertandingi oleh siapapun termasuk Ikal sendiri. Tak pedauli bagaimana rupa sekolah mereka, bagaimana sederhananya guru mereka, bagaimana kemiskinan telah menghilangkan sebagian hak mereka, namun pendidikan yang bersumber dari semangat perjuangan dan keikhlasan dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik.